Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya,
dan membawa dia di jalan yang tidak baik.
(Amsal 16:29)
Kekerasan yang terjadi hari-hari ini membuat pemerintah mulai melakukan usaha tindakan-tindakan nyata, baik secara gerakan maupun pendekatan secara hukum. Pemerintah mencoba untuk kembali menelaah Undang-Undang Perlindungan Anak no 23 tahun 2002. Masyarakat kembali memperhatikan fenomena kekerasan yang terjadi pada anak-anak akhir-akhir ini. Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa laporan kekerasan pada anak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai fakta, tahun 2010 ada 2.046 kasus yang dilaporkan dan meningkat di tahun 2011 menjadi 2.462 kasus kekerasan, 2012 ada 2.626 dan terakhir tahun 2013 kemarin mencapai 3.339 kasus kekerasan pada anak! Presiden sempat melakukan rapat darurat di bulan Mei lalu serta memanggil semua pejabat yang berhubungan dengan kasus kekerasan anak dan tindakan kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini.
Wajar saja semua pihak menjadi panik dengan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Serentetan peristiwa yang terjadi dimulai dengan berita heboh kasus JIS (Jakarta International School) dimana seorang anak balita menjadi korban pelecehan dari petugas kebersihan di sekolah. Kasus ini terus bertambah setelah dilakukan penyelidikan di sana, hingga berakhir dengan rencana penutupan sekolah dan deportasi beberapa tenaga kerja asing. Dengan adanya kasus tersebut, seperti jamur merambat, menyusul terbongkarnya di kota-kota lain. Emon (24) mencabuli lebih dari 100 anak di Sukabumi, Harun (43) melakukan sodomi pada 7 anak di bawah umur di Tuban, belum cukup. Di Tegal Anang (20) melakukan pelecehan pada anak umur 3 tahun sementara itu di Surabaya, Lugito (31) melakukan pelecehan pada seorang anak TK di sebuah sekolah swasta. Anak sebagai korban. Bagaimana jika anak/remaja adalah pelakunya? Mungkinkah itu terjadi? Mereka bisa menjadi pelaku. Terbukti dengan berbagai peristiwa ketika seorang anak tewas dikeroyok oleh teman-temannya hanya karena bersenggolan yang mengakibatkan pisang goreng seharga Rp. 1.000 terjatuh. Renggo (11) seorang siswa kelas 5 di Makassar tewas setelah dirawat di RS karena dikeroyok teman-temannya. Belum lagi peristiwa tewasnya Yakobus (14) terkena banyak tusukan di tubuhnya karena perkelahian dengan teman-temannya. [1]
KEKERASAN DIMANA-MANA
Rasanya kekerasan ada dimana-mana, mengelilingi kita. Baik di sekitar rumah, bahkan di dunia politik pun ada kekerasan. Secara verbal (perkataan ataupun tulisan) maupun secara non verbal (fisik, perilaku fisik). Media massa pun menyediakan konten kekerasan tanpa rasa bersalah. Ketika sebuah tayangan favorit saat ini seperti YKS (Yuk Keep Smile) mempertontonkan pelecehan dan kekerasan, anak-anak bisa saja tertawa. Penonton senang dan tak beranjak dari kotak ajaibnya (baca; televisi). Panggung politik juga menyajikan saling ejek pejabat atau para politikus. Berita koran sarat dengan berita perampokan, pembunuhan, demonstrasi, dan aksi-aksi keras yang lainnya. Kekerasan mengepung masyarakat. Generasi ini dikepung oleh kekerasan. Ketika mereka melakukan kekerasan, sepertinya adalah hal yang biasa dan sah-sah saja untuk dilakukan karena sudah bukan lagi “hal” langka. Semua sudah biasa! Apalagi sebagai orangtua, kadang kita sendiri juga sedang mempertontonkan kekerasan di hadapan mereka. Marah dengan pengendara motor di sebelah, memaki tetangga sebelah, membentak satpam perumahan, komplain dan menghina penjaga toko atau orang yang di mall, memukul binatang atau membunuhnya, apalagi memukul dan memaki pasangannya.
BAGAIMANA KEKERASAN TERJADI?
Menurut teori sosial, kekerasan yang diartikan sebagai tindakan agresif muncul dari PENGAMATAN (Observed Aggression). Bagaimana seseorang melihat, mendengar, dan mengalami kekerasan. Jika sekelilingnya selalu ada tindak kekerasan maka mereka akan mengamati dan terjadi proses belajar. Tahap berikutnya KURANG MAMPU (disinhibition), kurang mampunya anak menahan banyaknya konten kekerasan yang mereka konsumsi dari berbagai media sehingga membuat berkurangnya kebiasaan-kebiasaan yang telah dimilikinya. Di sini mulai muncul kecanduan atau keterikatan. Tahap selanjutnya adalah KEHILANGAN KEPEKAAN (dezensitization). Anak dan remaja mulai kehilangan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain atau lingkungan sekitarnya. Tahap terakhir, PEMBENTUKAN (habitualization). Pembentukan kebiasaan kekerasan dalam dirinya. Kekerasan merupakan bagian dalam hidupnya. Makian, ejekan, pembalasan, pukulan, dan dendam diwujudkan baik dalam perkataan maupun tindakan. Lingkungan memberikan dukungan terhadap perilaku tersebut. Status sosial diberikan positif kepada pelaku kekerasan. Misal: Orang yang membalas dendam itu benar dan “gentle”. Remaja yang ikut tawuran itu lelaki sejati, atau berani dengan orangtua itu memang seharus dilakukan anak remaja dan semua juga melakukan hal yang sama. Perbuatan-perbuatannya ada yang mendukung.
Penyebab lain munculnya kekerasan karena memang sejak manusia jatuh dalam dosa ada roh pemberontakan dalam dirinya. Ada dosa yang masih mengikutinya, sehingga bisa saja secara tiba-tiba kekerasan tersebut muncul. Saat Kain membunuh Habel, tidak ada pengamatan sebelumnya tentang kekerasan itu bukan? Tapi hati Kain sudah dikuasai dan membiarkan iblis untuk mengendalikan hidupnya.
SIAPA PEDULI
Setelah kita mengetahui penyebab kekerasan yagn terjadi pada generasi ini, bahkan mereka juga menjadi korban kekerasan, siapakan yang peduli dengan hal ini? Apakah hanya kita melimpahkan pada pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan, atau mungkin dilemparkan pada institusi pendidikan (sekolah). Masing-masing dari kita sebagai individu dan keluarga harus memulai untuk peduli dan bertindak.
“Demikian juga Bapamu yang di sorga
tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang.”
(Matius 18:14)
Hilangnya yang dimaksud juga bisa berarti terseret oleh arus dunia yang penuh dengan kekerasan. Bapa di Sorga tidak menghendaki mereka (baca: anak-anak, generasi) hilang, jadi kita akan mencari seperti Bapa di Sorga mencari mereka. Melakukan sesuatu.
YESUS, KETELADAN, DAN WASPADA MEDIA
Bawa generasi ini mengenal dan percaya kepada Yesus. Itu adalah tindakan awal untuk terjadinya perubahan dan pemulihan. Selanjutnya lakukan KETELADANAN. Bagaimana kita tidak melakukan kekerasan di hadapan anak-anak kita. Saat mengalami tekanan ataupun masalah, jangan tunjukkan kekerasan atau makian. Belajarlah untuk mengendalikan emosi dan bersabar. Milikilah buah-buah roh yang dapat dinikmati oleh anak-anak kita.
Waspadai dan bijak terhadap media, kurangi dan kendalikan media yang dilihat dan didengar oleh anak-anak kita. Banyak konten atau pesan-pesan yang mengandung kekerasan disajikan oleh berbagai media. Terlebih saat ini, anak dan remaja sangat akrab dengan berbagai gadget serta dunia maya. Berikan masukan informasi yang benar, baik, dan sehat. Apa yang masuk dalam pikiran mereka itulah yang akan dilakukannya di kemudian hari.
Tentang perbuatan manusia, sesuai dengan firman yang Engkau ucapkan, aku telah menjaga diriku terhadap jalan orang-orang yang melakukan kekerasan;
(Mazmur 17:4)
Berbagai sumber surat kabar Kompas dan JawaPost (Mei 2014)
No Comments