Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang. (Mazmur 127:4-5)
DIBALIK NILAI
Di balik pintu ruang guru, sepasang suami istri sedang terlihat mengetuk pintu ruang guru dengan keras. Dari raut muka mereka tampak seperti sedang marah. Sesaat kemudian keluarlah seorang guru menyambut mereka. Tak lama kemudian terdengar nada suara tinggi, sepertinya mereka sedang komplain tentang nilai tugas anak mereka. Mereka tidak dapat menerima nilai yang diberikan si guru itu, menurut mereka tidak fair dan terlalu rendah. Walaupun si guru sudah berusaha menjelaskan dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan pemberian nilai tersebut tetap saja kedua orang tua itu tidak dapat menerima.
Berakhir dengan dilemparkannya kertas tugas dan hasil karya anak mereka di depan sang guru sambil bersumpah dengan teriakan melengking akan melaporkan guru itu kepada ketua Yayasan atau kepala sekolah. Apa yang sebenarnnya sedang terjadi? Ternyata nilai yang didapat anak tersebut memang sudah sesuai dengan standar sekolah. Masalahnya, tugas dan karya itu bukan dikerjakan oleh si anak, tetap dikerjakan oleh ibu dan ayahnya. Dengan kata lain, sebenarnya orangtua protes bukan memprotes nilai anaknya yang jelek, tetapi nilai mereka (orangtua) sendiri.
Mengapa hasil dan karya mereka dinilai sekolah rendah!
Pernahkan kejadian seperti di atas kita alami sebagai orangtua? Semula berniat membantu anak untuk mengerjakan tugas rumah atau proyek sekolah, tetapi berakhir dengan mengambil alih tugas tersebut sehingga lebih dari 75% kita yang mengerjakannya. Tugas atau karya itu bukan lagi hasil dari anak kita melainkan hasil kita, orangtuanya. Sadarkah bahwa kita sedang meng”copy”kan diri kita kepada mereka. Memaksakan mereka mirip dengan kita.
CITA-CITA SIAPA
Lain nilai, lain pula cita-cita. Ketika anak kami berumur 3 tahun, kami sedikit terkejut saat ia mengatakan jika besar nanti ingin menjadi tukang potong rambut. Ketika kami menanyakan mengapa ia bercita-cita demikian, ia menjawab bahwa tukang potong rambut kerjanya enak sekali dan cepat mendapatkan uang. Apakah kami marah? Tidak. Kami membiarkan anak kami berpikir luas dan bebas untuk memiliki mimpinya. Saat 5 tahun, ia berubah ingin menjadi pembuat robot, Saat 7 tahun ingin menjadi pendeta.
Pendeta yang naik robot pergi melayani Tuhan. Menginjak usia 9 tahun, ingin menjadi progamer design, usia 11 tahun ingin menjadi guru. Haleluya. Saat ini si kecil, adiknya (8 tahun) sudah bercita-cita ingin menjadi scientist yang bekerja sebagai detektif. Dibuktikan dengan presentasi di sekolah. Tentunya apa yang diceritakan di kelas itu hal yang aneh dan tak ada duanya sementara teman-teman yang lain ingin menjadi dokter, pengusaha, pemain sepak bola, guru, dan artis.
Anak kami mau jadi detektif. Waktu ia cerita di hadapan kami dan dengan bangga merencanakan apa yang akan disampaikan di depan kelas, dan kostum yang akan dipakai, kami hanya tersenyum dan mendukung apa yang direncanakan. Tanpa memaksa keinginan kami kepada dia. Kami tidak mau mencopykan diri kami kepada anak-anak kami. Usaha untuk mengcopykan diri kita sebenarnya sama dengan memaksakan kehendak kita kepada anak-anak. Menurut Dr. Madeline Levine, pengarang buku The Price of Privilage bahwa terjadi peningkatan empat kali lipat tingkat bunuh diri pada anak remaja sejak tahun 1950 hingga saat ini di AS. Hal ini disebabkan karena tingkat depresi yang tinggi walaupun secara tingkat ekonomi mereka di atas rata-rata dengan berbagai fasilitas yang memadai. Orangtua yang berpendidikan tinggi dan kaya. Melihat hal demikian maka Dr. Tim Elmore melanjutkan pendalaman penyebab terjadinya depresi dengan melakukan penelitian kualitatif pada puluhan ribu siswa yang didampingi di Growing Leaders (perusahaan nirlaba yang menyediakan lebih dari 7.000 pemimpin untuk sekolah, organisasi, perusahaan) selama bertahun-tahun.
Hasilnya? 80% gangguan emosional (depresi) itu disebabkan karena orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Walaupun sebenarnya tujuan dan maksudnya mereka baik. Orangtua mengambil alih hidup anak-anak mereka. Anak-anak sepertinya tidak lagi tahu harus bagaimana, dan apa talenta yang Tuhan berikan kepada mereka, lebih lagi apa yang Tuhan inginkan dalam hidup mereka. Orangtua merampok dan menjajah kehidupan anak- anak mereka. Benarkah, sampai hari ini kita memang demikian? Siapkah kita sebagai orangtua untuk berubah dari sikap memaksa ini menjadi pendamping bagi mereka?
BAGAIMANA MENGATASI KESALAHAN INI??
Tidak ada kata terlambat. Masih ada kesempatan. Sebagai orangtua marilah kita membuka diri untuk menjadi seperti yang Tuhan inginkan mempersiapkan anak-anak kita sebagai generasiNya yang dipersiapkan menyambut kedatanganNya.
- Menjadi teladan dengan pribadi yang sehat Kami tidak memaksakan cita-cita anak untuk menjadi seorang pendeta, ataupun psikolog. Namun mereka melihat keseharian kami. Apa yang kami lakukan setiap hari, bahkan melayani bersama. Mereka melihat apa yang kami lakukan, tanpa memaksakan. Walau dengan seiring waktu bisa saja berubah. Tapi kami tetap berusaha untuk menjadi teladan. Teladan itu tidak cukup, tetapi diperlukan pribadi yang sehat. Hati yang yang bertobat dan dipulihkan. Bila ini tidak terjadi, maka keteladanan seperti apa yang akan diberikan? Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah (2 Korintus 7:1)
- Membuka wawasan dan jangan paksakan Bawa anak-anak kepada lingkungan sekitarnya dan dunia yang luas. Bertemu dengan orang-orang yang hebat, hamba Tuhan, guru, semua profesi. Tempat-tempat yang dapat menginspirasi diri mereka, buku yang bagus. Dan biarkan mereka bebas memilih. Dalam batas-batas tetap pada kebenaran Firman Tuhan. Perhatikan keunikan anak-anak kita. Bagaimana mereka memilki Gaya yang kadang berbeda dengan kita, Talenta yang istimewa, Kesempatan yang berbeda dengan kita, dan Gairah saat meyukai sesuatu dan mengerjakan sesuatu yang juga berbeda. Termasuk dari anak yang satu dengan anak yang lain
- Komunikasikan kasih kepada anak-anak tidak tergantung perbuatan Sampaikan kepada anak-anak kita bahwa kita mengasihi mereka secara konsisten. Bukan sekedar disampaikan saja namun juga diperlukan tindakan yang nyata. Tunjukkan kasih melaui penyediaan waktu, sentuhan, hadiah, dan tindakan melayani dengan tulus. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. (Efesus 4:2)
- Tolong mereka menyelaraskan antara identitas dan aktifitas mereka Setiap anak memiliki identitas diri mereka secara unik dan tujuan yang Allah mau dalam hidup mereka. Di sinilah kita sebagai orangtua menolong untuk mengingatkan, memberikan dukungan, semua aktifitas serta pilihan mereka untuk diselaraskan dengan identitas dan tujuan hidupnya. Karena mereka masih relatif muda dan mudah bimbang, diperlukan orangtua untuk mendampingi. Selaraskan dengan apa yang Tuhan inginkan pada anak-anak kita. Tuhan menginginkan mereka sesuai dengan tujuanNya, sehingga IA menganugerahkan identitas yang mana di dalamnya ada talenta (baca: bakat, potensi) untuk memperlengkapi mereka.Bukan menyeleraskan keinginan kita kepada anak-anak
- Berkati mereka Seperti Ishak memberkati Yakub (Kejadian 27), Yakub berbicara kepada anak-anaknya (Kejadian 49), seperti Yesus memberkati anak-anak (Markus 10:16). Anak-anak kami, setiap pagi akan mendapatkan berkat. Penumpangan tangan dari saya selaku ayahnya. Memberkati mereka, agar mereka menjadi seperti yang Tuhan inginkan, berjalan bersama dengan Dia, mendapatkan perlindungan, mendapatkan hikmat, dan memberikan dampak pada sekitarnya. Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. (Markus 10:16) Jangan lagi ada fotocopy diri kita pada anak-anak kita. Biarlah Allah sendiri yang membentuk melalui kita sebagai orangtua. Fotocopy Allah ada pada mereka. Jangan ada fotocopy kita.
Pdm. Toninardi Wijono, S.Psi, CBA
No Comments