KONSELING ANAK / REMAJA YANG MENGALAMI EMOTIONAL DEPRIVATION DARI ORANG TUA (KONSELING BAGI ANAK-ANAK PANTI ASUHAN)

Suatu hari dua orang anak sebuah panti asuhan di Surabaya datang kepada saya untuk konseling. Sebut saja nama mereka Ita dan Siska. Awalnya mereka bercerita mengenai keluh kesah mereka mengenai segala hal yang tidak mengenakkan ketika hidup di panti asuhan. Selang ½ kemudian, dengan berurai air mata, keduanya menceritakan kisah sedih yang merupakan rahasia besar mereka selama ini. Selama ini mereka tidak pernah berani menceritakan hal ini. Tapi hari itu, semua kisah sedih itu tumpah dan penuh keharuan. Ita, seumur hidup tinggal di panti asuhan. Dia tidak pernah mengenal siapa papa dan mamanya. Sambil menangis, Ita berkata dia ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Air mata kesedihan terus mengalir dengan deras, tanpa saya tahu apa yang harus saya lakukan, selain mendengar kisahnya sambil menangis bersamanya. Siska jauh lebih beruntung, karena masih memiliki papa, namun begitu benci kepada mamanya. Siska bercerita ketika kecil, mama pernah ingin membunuhnya beberapa kali. Namun kisah yang penuh kepedihan adalah ketika mama mulai menyiram minyak tanah ke tubuh Siska kecil. Hanya karena pertolongan Tuhan lewat papa Siska yang membuat Siska selamat. Namun trauma itu terus membekas dalam hati Siska yang penuh kebencian. Betapa berat beban yang harus mereka tanggung sejak masa kecil mereka.

 

Ita dan Siska hanyalah dua dari sekian juta anak Indonesia yang mengalami kepahitan hidup karena ditinggalkan, ditolak, dan terlantar secara emosi di panti-panti asuhan, pada saat mereka membutuhkan orang tua mereka. John McCall, seorang psikolog, dalam tulisannya Research on the Psychological Effects of Orphanage Care – A Critical Review, mengatakan, “All of us agree that growing children need strong, interactive relationships with responsible adults. Besides giving emotional and physical security, such ties help the child grow and learn to cope with an ever-changing world. In most societies, the child’s parents are considered the optimal social arrangement for child care and mothers are expected to play the central role”. Ketika anak kehilangan kehadiran orang dewasa, khususnya ibu, ada banyak aspek penting pertumbuhan anak yang akan mengalami gangguan.1 Mereka tumbuh dalam akar pahit yang terus menggerogoti hidup dan perkembangan diri mereka. Beberapa di antara mereka berhasil survive dan bertahan hidup dan mengalami pemulihan gambar diri. Sebagian lagi gagal dan jatuh ke dalam jurang yang sepertinya tidak berujung, bahkan beberapa mengakhiri hidup secara tragis di dalam perasaan ketidakberhargaan diri yang amat dalam. Siapakah yang akan menolong mereka ? Semoga tulisan ini menggugah hati kita dan mulai melakukan sesuatu untuk mereka, anak-anak diterlantarkan ini.2

 

 

 

MEMAHAMI REALITAS EMOTIONAL DEPRIVATION PADA ANAK YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN.

 

Pada awal abad 20an, panti asuhan dipandang sebagai tempat terbaik anak dari keluarga yang bermasalah, atau bahkan yang tidak memiliki keluarga. Namun beberapa tahun terakhir, pandangan ini mulai berubah. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan sejak kecil, seringkali mengalami masalah di dalam perkembangan baik secara sosial, emosi, maupun fisik. Seringkali perkembangan mereka dari satu tahap ke tahap berikutnya mengalami delay oleh karena berbagai faktor yang hadir di sekitar hidup mereka. Peran pengasuh, anggota keluarga di panti, dan keadaan lingkungan di sana seringkali menjadi faktor penentu apakah anak-anak berkembang sesuai tahap normal, atau bahkan mengalami delay dan bahkan penyimpangan.3 John Bowlby, seorang psikoanalis terkenal dari Tavistock Clinic di London, diberi tugas oleh World Health Organization (WHO) untuk meneliti mengenai maternal deprivation dan memberi solusi terhadap permasalahan ini. John Bowlby memberi kesimpulan sebagai berikut, “ I concluded that institutional child care was in a terrible state. In too many cases, the physical care of children was inadequate. Even more serious was the psychological damage which many institutional children suffer despite good physical care. The cause, was disruption of the special mother-child bond needed for healthy psychological development”.4 John Bowlby akhirnya memberi saran untuk mengubah pola pengasuhan dari pola panti asuhan kepada pola pengasuhan keluarga angkat.5 Ketika anak-anak, sejak kecil tidak memiliki sarana untuk mengembangkan pertalian hubungan (bonding relationship) dengan orang-orang terdekatnya, di sinilah sumber masalah yang sangat besar yang berakibat kepada psychological damage yang mempengaruhi hampir seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

 

Rene Spitz, seorang psikiater, pada tahun 1945 juga melakukan penelitian terhadap perkembangan anak-anak panti asuhan dan menemukan adanya regresi secara emosi dan psikologis pada diri anak-anak yang terpisah dari pertalian hubungan dengan orang tua (khususnya ibu) pada masa awal hidupnya.6 Studi pada masa berikutnya bahkan memperkuat hasil penelitian John Bowlby ini. Ford and Kroll, yang menjadi aktifis pendukung adopsi (1995) bahkan menyimpulkan demikian, “Fifty years of research reconfirms the same findings: long-term institutionalization in childhood leads to recurrent problems in interpersonal relationships, a higher rate of personality disorders, and severe parenting difficulties later in life.”7 Tapi bukankah di panti asuhan peran orang tua diambil alih oleh para pengasuh ? Beberapa ahli medis mencoba menjawab hal ini dalam beberapa penelitian, yang membuktikan signifikansi kehadiran orang tua (khususnya mama) pada pertumbuhan di usia awal anak dan peran orang tua pengganti (pengasuh) tidak sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan anak-anak.8 Kekuatan ikatan batin dan emosi orang tua dan anak adalah ikatan hubungan natural yang paling kuat dibanding dengan ikatan hubungan lainnya. Fakultas kedokteran Universitas Wisconsin (Madison- Amerika Serikat) mencoba meneliti hal ini.

 

Menurut para peneliti Universitas Wisconsin, setiap orang memiliki dua macam hormon yang mengatur emosi manusia, yaitu hormon vasopressin dan hormon oxytocin. Dalam penelitian selama beberapa tahun kepada anak-anak ditemukan data sebagai berikut:

Anak yang dibesarkan di panti asuhan memiliki level vasopressin dan oxytocin yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang dibesarkan di dalam keluarga. Demikian pula halnya dengan remaja berusia 18 tahun, yang selama hidupnya tinggal dan dibesarkan di panti asuhan menunjukkan data yang sama.

 

Universitas Wisconsin membuat percobaan sebagai berikut: Seorang anak diminta duduk di pangkuan orang tuanya dan bermain sebuah permainan interaktif dengan orang tuanya (saling berbisik, berpelukan, bercanda, mengitik-ngitik, dan sebagainya). Ternyata sentuhan fisik ini mengakibatkan meningkatnya oxytocin. Sedang anak yang tinggal di panti asuhan dan melakukan hal yang sama dengan pengasuhnya, tidak menyebabkan timbulnya respon yang sama. Para peneliti menyimpulkan adanya perbedaan mendasar antara kehadiran dan sentuhan orang tua anak dengan sentuhan oleh orang yang bukan orang tua anak itu sendiri. Istilah yang paling mudah diingat adalah ada hubungan emosional – batin antara orang tua dan anak dan hal ini tidak dapat digantikan oleh hubungan lain, dalam bentuk yang paling kuat dan baik sekalipun.9 Para ahli menemukan bahwa kedua hormon ini akan mempengaruhi tingkat hubungan dengan individu lain dalam kehidupan sosial mereka, terutama berkaitan dengan pertumbuhan kesehatan emosional anak. Semakin rendah hormon vasopressin dan oxytocin dalam diri anak, semakin kurang baiklah perkembangan emosi, psikologis, sosial dan fisik seseorang. Anna Freud juga menekankan hal yang sama. Dia berkata, “I believe the absence of a close, continuous relationship with a caring mother, or surrogate, spells doom for the psychological well-being of the infant. This bonding process is assumed to overlay unconscious ego and superego developments, necessary for later psychological health. Such imagery appeals to family-centered professionals who want the authority of scientific theory.10 Dr. Seth Pollack, ketua tim peneliti ini akhirnya menyimpulkan bahwa, “The researchers add that the present data provides a potential explanation for how the nature and quality of children’s environments shape the brain-behavioural systems underlying complex human emotions”.11 Bahkan dalam beberapa kasus traumatis akibat kehilangan bond-relationship antara anak dan orang tuanya menimbulkan perubahan regulasi pada biological stress response system pada otak anak, khususnya terjadinya perubahan struktur dan kimiawi otak, yang akan seringkali mengarahkan anak mengalami disfungsi fisik, emosi, tingkah laku, perkembangan dunia sosial-kognitif anak pada masa dewasanya kelak.12

 

Teori-teori yang dikemukan di atas pun saya temui di dalam pelayanan saya kepada anak-anak panti asuhan tersebut. Banyak di antara mereka tidak pernah bertemu dengan orang tua kandung mereka. Di dalam hati mereka yang terdalam ada luka yang begitu besar karena ketidakhadiran orang tua mereka. Anak-anak itu tetap memiliki pengasuh di panti asuhan, mereka masih dapat tertawa, bertumbuh seperti layaknya anak-anak pada umumnya. Namun sampai pada suatu titik tertentu, kerinduan hati mereka untuk bertemu dan menerima kasih orang tua mereka sepertinya tidak tertahankan lagi. Kerinduan yang ”mungkin” tidak akan pernah terealisasi membuat mereka frustrasi, marah, tertekan, dan mulai mencari pihak yang dapat disalahkan. Dan ironisnya, mereka sering sekali menyalahkan diri mereka sendiri; mereka merasa tidak layak dikasihi, merasa tidak berharga sehingga dibuang oleh orang tua mereka. Emosi yang penuh luka menjadikan mereka justru semakin terluka.

 

Di dalam pelayanan kepada mereka saya menemukan bahwa kehadiran pengasuh dalam hidup anak-anak panti ini sedikit banyak meredam kebutuhan menggebu-gebu anak-anak ini terhadap kasih orang tua mereka. Namun, ketika anak menginjak usia lebih besar dan masuk ke dunia remaja, mereka benar-benar diperhadapkan pada realita yang menyakitkan – bahwa mereka tidak memiliki orang tua. Kehadiran pengasuh, yang dapat berganti-ganti setiap waktu atau bahkan pengunjung panti asuhan yang datang dan pergi setiap hari, seringkali membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk membangun bond-relationship dengan orang dewasa. Bila demikian, bagaimana mereka bisa mengembangkan kepercayaan pada diri dan orang lain ? Bila fase yang paling dasar dari anak saja tidak berlangsung dengan baik, maka fase-fase perkembangan berikutnya akan ikut terhambat, sehingga anak tidak berkembang sebagaimana mestinya. Menanggapi hal ini, Bowlby dan Freud memiliki pendapat yang sama. Mereka mengatakan, ” Staff turnovers in institutional practice is a serious risk to children, since bonding with a single adult is difficult.13

 

Ada beberapa fakta gangguan perkembangan yang dikemukan oleh para ahli mengenai anak-anak yang mengalami emotional deprivation ini, khususnya ketika mereka kehilangan bond relationship dengan orang tua pada masa perkembangan awal hidup mereka.

 

Pertama: Adanya resiko problem medis dan gangguan kesehatan. Keadaan sedih pada bayi dan anak menghambat sekresi hormon kelenjar di bawah otak (pituitary Hormones) sehingga menghambat hormone pertumbuhan juga.14 Anak-anak ini dua kali lebih beresiko untuk mengalami gangguan kesehatan yang serius, misalnya: gangguan kelelahan yang berlebihan, gangguan fungsi tiroid, gangguan fungsi imun, gangguan makan, obesitas, asma, hipertensi, dan sebagainya. Bahkan, anak-anak yang tumbuh tidak dengan kedekatan emosi (bound-relationship) dengan orang tua / pengasuhnya akan terus mencari kebutuhan emosinya itu ketika menginjak usia dewasa. Maka mereka semakin beresiko untuk hamil pada usia muda, gonta-ganti pasangan (penyakit kelamin dan HIV AIDS), yang justru memperparah resijo gangguan kesehatan yang lebih serius kemudian (Coba perhatikan footnote nomer 14).15

 

Kedua: Adanya resiko disfungsi perkembangan: Anak-anak ini seringkali mengalami gangguan pada wilayah perkembangan motorik dan kognitifnya, khususnya kemampuan belajarnya. Kemampuan menaruh perhatiannya yang rendah, kesulitan belajar, dan bahkan (dalam beberapa kasus) terjadi penurunan tingkat IQ anak secara perlahan. Beberapa mengalami kesulitan dalam berbahasa. Beberapa mengalami problem sosial. Namun sebagaian besar mengalami problem emosional, yang bila tidak ditangani akan menuju ke arah gangguan mental dan kepribadian.16 (Untuk data-data selengkapnya, dapat dilihat pada tabel-tabel yang saya sisipkan diakhir dari makalah ini).

 

Ketiga: Adanya resiko gangguan kesehatan mental dan emosi. Data penelitian menunjukkan bahwa 1/3 – ½ anak yang mengalami trauma karena abused dan neglected mengalami beberapa gangguan kesehatan mental, mulai dari mood and anxiety disorder, eating disorder, personality disorder17, bahkan cukup banyak mengarahkan diri kepada kasus bunuh diri sebagai alternatif terakhir untuk pemecahan masalah pribadi. Bahkan pada usia 8 tahun, ada hampir 10 % dari anak-anak yang merasa tertolak dan tidak dipedulikan ini mulai mengembangkan ide untuk bunuh diri.18 Penelitian lanjutan Rene Spitz, dalan longitudinal Study yang membuktikan bahwa kehilangan bonding relationship dengan orang tua (khususnya ibu) memberi efek sindrom of disorder yang disebut oleh Spitz dengan hospitalism.19 Bahkan beberapa penelitian yang ditulis dalam artikel London Guardian menyatakan:

 

Psychiatric problems were three and a half times more common among institutionalised children, but moving them to stable family environments did not always improve their mental condition. While the study showed children in foster homes had fewer psychiatric problems, with less anxiety and depression than those in orphanages, their behavioural problems, including being aggressive and confrontational, did not subside. The children’s response was different depending on gender, with girls more likely to have emotional problems and boys more prone to behavioural disorders.20

 

Keempat: Adanya resiko gangguan perilaku ketika anak menginjak usia dewasa (Revictimization). Anak-anak yang tumbuh dalam situasi dimana mereka tidak mendapatkan bond relationship dari orang tua natural, anak mengalami banyak kesulitan dan gangguan perilaku, khususnya dalam usaha mereka menemukan sesuatu yang hilang, kosong, dan sudah begitu lama dirindukan. Beberapa anak tumbuh menjadi orang dewasa yang haus akan keintiman dan berusaha mencarinya di tempat-tempat yang menyediakan keintiman instant. Sebagian lagi tumbuh menjadi anak yang kering, yang mengalami kesulitan dalam hal keintiman, menjauhkan diri dari keintiman, dan hidup di dalam gua kesendirian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang lack of bonding relationship karena maltreatment atau abuse beresiko dua kali lebih besar untuk melakukan sexual assults, domestic violence, dan bahkan empat kali lebih berisiko untuk menyakiti dan merusak dirinya sendiri, dibandingkan dengan anak-anak yang mengalami bond relationship dengan orang tua mereka.21 Dan bahkan anak-anak ini tumbuh tanpa memahami bagaimana memiliki bond-relationship dengan orang lain. Dapatkah kita membayangkan, ketika anak-anak ini masuk di dalam pernikahan, dimana dua pribadi saling berbagi dalam segala hal, termasuk di dalamnya keintiman. Apa yang terjadi dengan mereka ? Hampir dapat dipastikan bahwa anak-anak korban family maltreatment ini kelak akan mengalami disfungsi dalam perkembangan hubungan pernikahan, bila mereka tidak segera ditolong.

 

EFEK PSIKOLOGIS EMOTIONAL DEPRIVATED CHILDREN

 

Anak-anak panti asuhan adalah anak-anak yang mengalami penelantaran (neglected) oleh orang tua mereka, baik secara fisik, kesehatan, sosial, dan secara khusus emosi. Anak-anak ini tumbuh dengan beberapa efek besar22, yang sangat mempengaruhi hidup mereka.

 

Pertama: Perasaan bersalah (guilt). Anak-anak ini adalah anak-anak yang menjadi korban dan tidak dapat disalahkan untuk kondisi yang mereka alami. Namun anak-anak ini seringkali menyalahkan diri mereka untuk kondisi yang mereka alami. Seringkali mereka mengembangkan false thought, yaitu merasa diri tidak berharga, tidak pantas dikasihi, dan tumbuh dalam perasaan bersalah, bahwa karena merekalah maka orang tua mereka tidak menginginkan mereka dan meninggalkan mereka di panti asuhan.

 

Kedua: Kesulitan untuk mempercayai orang lain (mistrust). Menurut Teori perkembangan psikososial Eric Ericsson, anak-anak mengembangkan trust kepada orang lain, khususnya lewat bond-relationship dengan ibu pada masa awal kehidupan (1-2 tahun). Apa yang terjadi dengan anak-anak panti, yang harus berbagi perhatian dari pengasuh di panti asuhan, yang harus memperhatikan banyak anak sekaligus ? Kebutuhan anak-anak akan exclusive relationship tidak diperoleh secara cukup. Akibatnya adalah anak-anak mengembangkan mistrust baik kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosialnya. Josh McDowell mengatakan, ”Such a young person is often presented with a cruel dilemma: He/she is starved for affection, for unable to trust such expressions, no matter who initiates them nor how fervent they may be. The young (children) will, without intervention, remain skeptical of others’ intentions and doubtful of his or her own self-worth”.23

 

Ketiga: Perilaku agresi (aggression) atau menarik diri (withdrawal). Anak-anak yang ditolak ini seringkali memunculkan sikap agresif, khususnya dalam mengisi sesuatu yang kosong dalam diri mereka. Kebutuhan akan kasih sayang, perlindungan, perasaan diterima dan dikasihi seringkali mendesak mereka untuk dipenuhi. Anak-anak yang tertolak ini seringkali mengekspresikan agresifitas mereka sebagai jalan keluar untuk setiap masalah yang mereka hadapi, entah itu agresif melawan dan menyerang, atau secara agresif menarik diri, dan bersembunyi di balik tindakan agresif dan violence mereka.24

 

Keempat: Anak-anak ini cenderung mengalami kesulitan dalam hubungan sosial mereka. Kebutuhan untuk dipenuhi, dikasihi, diterima, membuat mereka cenderung menuntut, terlibat konflik, dan sedikit sekali kesempatan untuk memberi. Bukankah dalam praktek hidup sosial, unsur take-give adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Keadaan ini membuat anak-anak yang ditolak ini mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.

 

KECENDERUNGAN DEPRESI PADA ANAK-ANAK YANG MENGALAMI EMOTIONAL DEPRIVATION DARI ORANG TUA

 

Anak-anak yang mengalami emotional deprivation khususnya dalam masa kecil mereka seringkali menimbulkan resiko tinggi hidup dalam keadaan depresif dikemudian hari. Anak-anak yang mengalami emotional deprivation seringkali mengalami kesedihan yang mendalam akibat kehilangan obyek yang dikasih pada masa kanak-kanak dan kurangnya mendapat kasih sayang di panti asuhan karena harus berbagi kasih pengasuh dengan sekian banyak anak. Karena usianya yang masih dini, seorang anak tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah emosional ini sendirian. Hal ini membuat anak tidak mampu berbuat apa-apa dan seringkali jatuh dalam perasaan depresi yang dalam (meski dalam bentuk yang berbeda dari depresi orang dewasa). Keadaan kehilangan di masa kecil ini sering mengakibatkan kemarahan yang besar terhadap objek yang meninggalkan, namun lebih sering kemarahan itu diarahkan kepada dirinya sendiri.25 Kemarahan ini seringkali merupakan kemarahan yang tersembunyi, sebab anak-anak tidak mengerti bagaimana cara menyalurkan kemarahan ini. Dapatkah kita bayangkan apa yang terjadi dengan anak yang memendam kemarahan, ketakutan dan kecemasan itu di dalam dirinya ? Seperti pada bahasan sebelumnya, anak-anak seringkali menunjukkan rasa kehilangan, ketakutan, dan kemarahan itu dalam bentuk tindakan-tindakan negatif, yang bahkan tidak disadarinya. Hal ini tentu saja memperburuk keadaan anak-anak ini, dan akhirnya anak semakin jatuh ke dalam jurang depresi yang berat. Anak-anak memerlukan orang lain untuk mengangkat mereka dari keadaan yang berat ini. Anak-anak yang mengalami emotional deprivation cenderung mengalami depresi dalam pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya.

 

APA KATA ALKITAB ?

 

Alkitab memberi beberapa prinsip utama mengenai anak-anak dan kebutuhan mereka akan kehadiran orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam rencana kekal Allah pun, kehadiran orang tua dalam hidup anak memberi dampak yang sangat besar. Beberapa ayat tersebut adalah:

 

Pertama: Sons are the heritage from the Lord, Children a reward from HIM (Psalm 127:3). Anak-anak adalah milik pusaka Tuhan. Milik pusaka berarti milik yang sangat berharga dan benar-benar dijaga dan dilindungi keberadaannya. Tuhan hanyalah meminjamkan anak-anak itu kepada orang tua. Bila orang tua, yang dipinjami oleh Tuhan tidak menjaga anak sesuai dengan harapan-Nya, ada konsekuensi besar yang akan dihadapi. Kisah orang tua Israel yang mempersembahkan anak kepada dewa Molokh sebagai persembahan adalah tindakan yang mendapat murka Tuhan (Imamat 20:1-5). Tindakan mempersembahkan anak kepada molokh adalah tindakan yang bukan hanya melakukan apa yang tidak disukai Tuhan, namun juga menentang Tuhan. Alkitab memberi gambaran konsekuensi berat pada saat seseorang yang dengan sengaja mencelakakan dan membahayakan anak-anak yaitu, ”It would be better for you if a millstone were hung around your neck and you were thrown into the sea than for you to cause one of these little ones to stumble (Luk 17:2). Tuhan mengasihi anak-anak (Mark 10:16) dan tidak ada seorangpun, siapapun juga, yang boleh merusak hidup buah hati dan milik pusaka-Nya itu.

 

Kedua: Train a child in the way that he should go, and when he is old he will not turn from it (Prov 22:6). Tuhan mengutus orang tua untuk menjadi tangan Allah bagi anak-anak mereka. Prinsip ini sangat jelas memberi penekanan kepada kewajiban orang tua untuk melakukan kehendak Tuhan bagi anak-anak mereka, yaitu dengan mengajar mereka jalan yang Tuhan inginkan. Ulangan 6:1-9 benar-benar memberi gambaran kedekatan dan keintiman fisik, emosi, sosial, dan spiritual antara orang tua dan anak pada waktu keluarga mempelajari jalan-jalan Tuhan. Bonding-relationship ini memberi gambaran betapa besar kehadiran orang tua dalam hidup anak-anak, khususnya dalam realitas hidup ketika anak-anak belajar mengenai Allah dari orang tua mereka. Kehilangan bond-relationship orang tua-anak akan menimbulkan luka, kepahitan dan kepedihan, yang akan mengakibatkan anak kehilangan / mengalami distorsi gambar dan konsep tentang Allah dalam diri mereka, karena mereka tidak memiliki gambar ayah-ibu dunia yang benar.

 

Ketiga: Can a mother forget the baby at her breast and have no compassion on the child she has born ? God will not forget you (Isa 49:15a). Ayat ini ingin memberi penekanan penting bahwa seorang ibu (orang tua) secara naluriah alami tidak akan pernah meninggalkan anak-anak buah hati mereka. Namun, bila hal itu terjadi pun, Allah akan menjadi ayah dan ibu yang dibutuhkan oleh anak-anak tersebut, yang tidak akan pernah meninggalkan anak-anak itu. Bukankah begitu banyak anak yang terluka, teraniaya, ditinggalkan sendiri, dan terlupakan oleh orang tuanya sendiri ? Allah yang baik, selalu menjadi ayah bagi semua mereka yang tidak memiliki ayah. God is the Father of the fatherless. Tuhan tahu bahwa anak-anak yang ditinggalkan ini akan mengalami kepahitan, trauma, luka, kepedihan, dan penyimpangan dalam perkembangannya. Oleh sebab itu, Allah memanggil banyak orang menjawab panggilan-Nya, menjadi ayah dan ibu bagi mereka yang tidak berbapak dan beribu. Saya sendiri mengerti dengan jelas panggilan Allah ini dalam diri saya, Fathering the fatherless. Panggilan ini merupakan panggilan membalut luka dan memulihkan rancangan agung Allah bagi anak-anak yang dikasihi Allah ini.

No Comments

Enroll Your Words

To Top