PERNIKAHAN dan PERCERAIAN
Pernikahan dini dini di Indonesia dapat menjadi pemicu permasalahan yang timbul akhir-akhir ini. Anak yang gagal dalam pendidikan, terlibat dalam kekerasan, kekurang gizi, jatuh dalam jerat narkoba serta prostitusi. Anak-anak terjangkit penyakit sosial yang terus menggerus jiwa mereka. Percay aatau tidak ternyata pernikahan usia dini di Indonesia menduduki peringkat nomor 2 di seluruh Asia Tenggara. Berdasarkan riset kesehatan dasar pada tahun 2010, ditemukan sebanyak 46,7% pernikahan adalah perempuan yang masih berusia di bawah 19 tahun. Parahnya lagi 5% diantaranya masih berusia di kisaran 10-14 tahun. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang ditulis dalam GirlsNoBrides, bahwa 1 dari 5 perempuan di bawah usia 18 tahun telah menikah. Secara global Indonesia memang masih di urutan ke-37 termasuk negara yang penduduknya menikah di usia di bawah usia 18 tahun.
Sementara pernikahan yang tergolong belum matang untuk memasuki keluarga baru, ternyata pernikahan dini juga pemicu terjadinya perceraian. Dalam 1 jam, terjadi 40 perceraian di Indonesia! Fantastis! Pernikahan dan perceraian, 2 hal yang dapat mempengaruhi perkembangan anak-anak. Mereka yang memerlukan pengasuhan dari kedua orangtuanya, mereka yang memerlukan tempat aman dan perlu perlindungan dari orangtuaya, malahan harus mengalami “neraka” bagi dirinya ketika orangtua harus bercerai atau tidak mampu membesarkan mereka.
ALASAN MENIKAH
Pertanyaan pertama. Mengapa Anda menikah? Pertanyaan yang sederhana in menjadi titik awal sebelum membangun sebuah keluarga. Ada begitu banyak alasan seseorang melangsungkan pernikahan. Dari hasil pengamatan saya, didapat beberapa alasan seseorang itu menikah: usia yang makin bertambah, tekanan orangtua, ekonomi atau karir, lamanya pacaran, tekanan lingkungan, sampai pada kecelakaan (baca: MBA, married by accident). Bagaimana dengan Saudara? Mengapa Saudara menikah?
Pertanyaan kedua. Mengapa Saudara memilliki anak atau mau memiliki anak? Demikian juga saya mencoba menemukan alasan seseorang memiliki anak, maka didapat diantaranya adalah: alasan meneruskan marga/nama keturunan keluarga, status sosial, tekanan agama, alasan karir/bisnis, sampai alasan karena sayang pada anak-anak. Bagaiman dengan Saudara? Tidak ada atau jarang yang alasan untuk menikah dan memiliki anak karena benar-benar karena pertimbangan serta tujuan yang Ilahi. Adanya faktor Tuhan sebagai alasan pernikahan dan memiliki anak.
YESUS MENJADI PUSAT
Pengasuhan yang kudus harus didasari dengan bagaimana menemukan bahwa tujuan dari pernikahan dan memiliki anak karena memang atas kehendak Tuhan Yesus. Merupakan perintah dan tugas yang harus dilakukan oleh setiap suami-istri atau ayah-ibu. Bagaimana Tuhan mempertemukan setiap pasangan, bagaimana diberkati oleh Hamba Tuhan, Bagaimana menantikan sang buah hati yang dibentukNya sejak dalam kandungan sang ibunya. Jadikan Yesus sebagai pusat dalam hidup sebagai suami-istri atau ayah-ibu.
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
(Yohanes 15:4-5)
Ayat di atas jelas bahwa Yesus menjadi pusat di tengah-tengah keluarga. Ayat di dalam Matius 18:20 dapat lebih menguatkannya:
Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku,
di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”
(Matius 18:20)
BERTUMBUH BERSAMA
Dalam Sacred Parernting, mengenal yang namanya pertumbuhan. Pertumbuhan adalah hal yang secara natural terjadi bagi setiap makhluk hidup, apalagi dalam kehidupan spiritual. Iman. Pertumbuhan terjadi juga melaui proses belajar, Dalam mengasuh anak sebenarnya tidak hanya kita sebagai orangtua sedang mengasuh anak-anak kita namun sebenarnya kita juga sedang “dididik” oleh anak-anak kita. Garry Thomas, dalam bukunya Sacred Parenting menyebut anak-anak sebagai “guru-guru kecil”. Saya suka dengan istilah itu. Anak-anak kita iktu dalam proses mendidik orangtuanya. Seorang laki-laki yang semula suka keluyuran malam, ketika ia mulai memiliki anak, ia belajar untuk lebih bertanggungjawab dan tidak lagi keluar bersama dengan teman-temannya di malam hari. Seorang ibu, menjadi lebih sabar dan lembut ketika ia mempunyai anak yang menderita autisme. Kesabaran mulai muncul dalam dirinya. Di mana sewaktu ia masih muda sulit sekali sabar dengan orang lain. Contoh-contoh itu hanya sebagian saja yang saya temui. Bagaiman dengan diri kita? Anak-anak kita dapat menjadi guru-guru kecil yang mengajar kita menjadi manusia yang makin sempurna seperti Kristus. Semua pertumbuhan mengarah pada keserupaan dengan Kristus, Yesus.
BAGAIMANA MENGASUH DALAM KEKUDUSAN (Sacred Parenting)
Firman Tuhan:
Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.
(2 Korintus 7:1)
Dalam mengasuh anak-anak kita dalam kekudusan diperlukan 3 hal, yaitu:
- Dimulai dari kita untuk hidup kudus
Sebelum kita melakukan pengasuhan… Firman Tuhan katakan “menyucikan diri kita..” artinya diri kita harus terlebih dulu belajar hidup kudus. Kudus artinya memisahkan dari dosa, kecemaran. Dengan kata lain hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan hidup dalam kebenaran.
Sebelum mengatakan kepada anak untuk berdoa.. apakah kita juga hidup dalam doa? Untuk mengatakan kepada anak kita menghargai orang lain, apakah kita juga menghargai pembantu, karyawan, atau orang di sekitar kita? Mulailah kekudusan dari diri kita!
- Proses
Kata “…menyempurnakan..” dalam ayat di atas memberikan arti bahwa perlu adanya proses dalam kehidupan ini. Pengasuhan adalah proses. Bukan seperti “sulap” yang langsung ada dan berubah. Langsung terjadi seperti yang kita harapkan. Proses merupakan waktu yang tidak singkat. Memerlukan waktu yang bisa lama dan berulang. Saat mengasuh anak-anak kita, haruslah ingat bahwa kita semua perlu proses. Proses belajar bersama. Mungkin akan ada kesalahan atau kegagalan namun, karena ini adalah proses maka ada pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Proses!
- Takut akan Tuhan
Lakukan semuanya mengarah pada hidup yang takut akan Tuhan. Setiap tindakan, keputusan, didikan, pendisplinan, pendekatan, komunikasi, dan pendampingan dasarkan dengan takut akan Tuhan. Anak di bimbing untuk takut akan Tuhan, bukan takut pada orangtuanya. Menghormati Tuhan. Anak yang menghormati dan takut akan Tuhan, maka mereka akan menghormati orang lain juga, termasuk orangtuanya. Takut akan Tuhan menjadi dasar arah kita sebagai dalam mengasuh anak-anak kita dalam kekudusan.
Tidak ada kata terlambat. Marilah kita menjadi orangtua yang lebih berkenan di hadapan Tuhan dan mempersiapkan generasi masa depan mulai dari sekarang melalui anak-anak yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita saat ini.
Tuhan Yesus memberkati.
No Comments