Kebutuhan Perasaan Berarti

Berikut merupakan lanjutan dari artikel berseri Bahasa Cinta Untuk Mereka

Seringkali kita menganggap anak-anak sudah dianggap berarti dalam keluarga karena kita berasumsi yang salah. Asumsi-asumsi yang salah itu adalah:

  1. Bahwa hubungan anak dengan orangtua ada prioritas utama kita dibandingkan hubungan antara suami dan istri. BUKAN!
    Alfred A. Nesser, Emory University School of Medicine mengingatkan “Barangkali elemen yang paling penting pada bubarnya sebuah keluarga/perkawinan adalah karena hidup yang berpusat pada anak”. Bila seorang istri tidak mencintai suaminya lebih dari pada anaknya, baik anak maupun keluarganya dalam keadaan bahaya. Paparan Louis M. Terman. Hubungan cinta dan harmonis antara suami dan istri akan sangat berdampak pada anak-anak. Kebahagiaan mereka akan dirasakan oleh anak-anak.
  2. Bahwa anak ber”hak” menjadi pusat perhatian. BUKAN!
    Anak-anak bukan menjadi pusat dari keluarga, tetapi hubungan suami-istrilah yang menjadi pusat.
  3. Anak harus didorong agar secepatnya menjalankan peran lebih matang. JANGAN!
    Kematangan tidak dapat dipaksakan tetapi merupakan sebuah proses. Pemaksaan orangtua malahan berakibat tidak berimbangnya usia dan perkembangan anak. Sering terjadi pula tuntutan yang diberlakukan pada anak-anak itu adalah bentuk “dendam” masa lalu orangtua yang belum terbalaskan. Misal: Waktu kecil tidak punya kesempatan menari, maka anaknya segera dikursuskan menari.

 

Menciptakan perasaan berarti pada anak:

  1. Orangtua sendiri merasa hidupnya berharga dan berarti dan sampaikan pada anak.
  2. Biarkan anak-anak belajar membantu tugas rumah/gereja.
  3. Kesempatan untuk memperkenalkan diri.
  4. Beri kesempatan anak untuk bicara tentang dirinya atau buka peluang untuk itu.
  5. Beri kesempatan untuk memilih dan informasi resikonya.
  6. Luangkan waktu untuk anak-anak.
  7. Berilah kepercayaan dan belajar mempercayainya.
Selanjutnya

No Comments

Enroll Your Words

To Top